Menulis Ulang Sejarah Indonesia: Menerima Ambivalensi untuk Memahami Jati Diri Bangsa


majalahsuaraforum.com– Penulisan ulang sejarah Indonesia kini menjadi topik penting dalam upaya merefleksikan identitas bangsa secara lebih jujur dan menyeluruh. Di tengah tuntutan untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang selama ini dikunci oleh narasi tunggal, muncul kesadaran akan pentingnya menerima ambivalensi sebagai bagian dari proses tersebut.

Ambivalensi, sebagaimana dijelaskan oleh sosiolog Zygmunt Bauman, adalah kemampuan untuk melihat suatu peristiwa dari berbagai sudut pandang, bukan sekadar dari satu kategori yang pasti. Dalam konteks sejarah, hal ini berarti membuka ruang bagi berbagai versi dan pengalaman, bahkan yang selama ini dianggap tidak nyaman atau kontroversial.

Sejarah resmi Indonesia, terutama yang disusun pada masa Orde Baru, sering kali dibingkai dalam narasi tunggal. Contohnya dapat dilihat dalam penyajian peristiwa 1965–1966, yang secara dominan digambarkan sebagai kisah pengkhianatan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Narasi ini menyederhanakan peristiwa kompleks tersebut dan menyingkirkan sisi-sisi kemanusiaan seperti penderitaan korban tak bersalah, pelanggaran hak asasi manusia, dan konflik sosial yang lebih luas.

Penulisan ulang sejarah menjadi penting agar generasi kini dan mendatang dapat memahami bahwa sejarah bukanlah satu suara tunggal, melainkan kumpulan pengalaman, konflik, dan interpretasi. Dengan menerima ambivalensi, kita diajak untuk melihat bahwa tidak semua tokoh adalah pahlawan atau penjahat semata, dan bahwa setiap peristiwa menyimpan lebih dari satu sisi kebenaran.

Langkah ini bukan berarti melunturkan semangat kebangsaan, melainkan memperkuatnya dengan dasar pemahaman yang lebih inklusif. Menerima ambivalensi adalah mengakui bahwa masa lalu kita tidak selalu terang benderang, namun dari kerumitan itulah kita bisa belajar dan tumbuh sebagai bangsa.

Penulis mengajak masyarakat dan para sejarawan untuk membuka diri terhadap sejarah yang lebih kompleks dan jujur. Dengan begitu, kita tidak hanya menulis sejarah, tetapi juga menulis ulang cara kita memandang diri sendiri sebagai bangsa yang besar, dengan segala kekuatan dan kelemahan yang melekat.

 

Pen. Dew. 

Berita Terkait

Top