Sengketa Kepemilikan Empat Pulau, Bupati Tapanuli Tengah Imbau Semua Pihak Tahan Diri

majalahsuaraforum.com, Tapanuli Tengah — Sengketa kepemilikan empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) terus menjadi sorotan publik setelah keputusan Menteri Dalam Negeri menetapkan perubahan administrasi wilayah dari Aceh ke Sumut. Keputusan ini memicu penolakan keras dari pihak Aceh, yang mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut secara historis dan administratif merupakan bagian dari wilayahnya.
Menanggapi ketegangan yang berkembang, Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, mengimbau semua pihak, termasuk para tokoh masyarakat dan pemimpin daerah di Aceh maupun Sumut, untuk menahan diri dan tidak memperkeruh suasana. Ia menekankan pentingnya meredam potensi gesekan sosial yang bisa muncul akibat sengketa ini.
“Saya mengajak semua pihak untuk tidak terprovokasi dan mengedepankan dialog serta musyawarah dalam menyelesaikan persoalan ini. Kita harus menjaga stabilitas sosial dan menghindari perpecahan di tengah masyarakat,” ujar Masinton dalam keterangannya pada Senin (16/6).
Masinton juga berharap agar pemerintah pusat mengambil peran aktif dalam memfasilitasi dialog antara kedua provinsi guna mencari solusi yang adil dan bijaksana. Ia menegaskan bahwa penyelesaian masalah ini harus mempertimbangkan berbagai aspek, seperti sejarah, kondisi sosial masyarakat, serta letak geografis pulau-pulau yang disengketakan.
“Keputusan apa pun yang diambil sebaiknya tidak mengabaikan hak dan kepentingan masyarakat lokal. Kita harus saling menghormati dan menjaga hubungan persaudaraan antara masyarakat Aceh dan Sumut,” tambahnya.
Empat pulau yang menjadi sumber sengketa ini adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil. Selama ini, pulau-pulau tersebut diklaim berada di bawah administrasi Kabupaten Aceh Singkil. Namun, berdasarkan keputusan terbaru dari Kementerian Dalam Negeri, wilayah tersebut dipindahkan ke dalam administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Situasi ini telah menimbulkan gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat Aceh, termasuk mahasiswa dan tokoh adat, yang mendesak pemerintah pusat untuk meninjau kembali keputusan tersebut.
Sementara itu, Masinton menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa solidaritas dan persatuan masyarakat harus tetap menjadi prioritas utama dalam menghadapi dinamika politik dan administrasi wilayah. “Kita boleh berbeda pandangan, tapi jangan sampai merusak tali persaudaraan yang telah terjalin lama,” pungkasnya.
Pen. Dew.