Perang Dagang Mereda, AS-Tiongkok Sepakati Penurunan Tarif: Dampaknya Bagi Indonesia

majalahsuaraforum.com — Setelah bertahun-tahun terlibat dalam perang dagang yang memanas sejak era pemerintahan Presiden Donald Trump, Amerika Serikat dan Tiongkok akhirnya mencapai kesepakatan damai dalam perundingan yang berlangsung di Jenewa, Sabtu (10/5/2025).
Dalam kesepakatan tersebut, kedua negara setuju untuk menurunkan tarif impor yang selama ini menjadi pemicu ketegangan dagang. Tarif barang-barang Tiongkok yang masuk ke pasar AS yang sebelumnya dikenai bea hingga 145%, kini turun menjadi 30%. Sementara itu, barang-barang asal AS yang masuk ke pasar Tiongkok akan dikenai tarif sebesar 10%, dari sebelumnya 125%.
Perjanjian ini dijadwalkan mulai berlaku pada Rabu (14/5/2025) dan masih bersifat sementara. Kedua negara membuka ruang untuk penyesuaian tarif lebih lanjut melalui dialog lanjutan dalam beberapa bulan ke depan.
Kesepakatan ini dinilai sebagai kemenangan diplomasi Tiongkok setelah bertahun-tahun menghadapi tekanan ekonomi dari AS. Presiden Xi Jinping menyatakan bahwa kesepakatan ini “mengembalikan keseimbangan dan keadilan dalam perdagangan global.”
Sementara itu, dari pihak AS, Presiden Trump belum memberikan pernyataan resmi. Namun sejumlah analis menyebut keputusan ini sebagai bentuk kompromi akibat tekanan domestik yang kian meningkat terhadap ekonomi AS, terutama dari kalangan industri yang sangat bergantung pada pasokan dari Tiongkok.
Dampak Bagi Indonesia
Di tengah dinamika ini, Indonesia ikut merasakan imbasnya. Sebagai negara dengan ketergantungan tinggi pada perdagangan global, Indonesia berupaya menjaga neraca dagang yang stabil, khususnya dengan Amerika Serikat.
Pada tahun 2024, neraca perdagangan Indonesia dengan AS mencatatkan surplus sebesar US$16,84 miliar. Namun, situasi berubah cepat ketika AS menetapkan tarif impor sebesar 34% terhadap sejumlah komoditas dari Indonesia. Pemerintah pun segera mengirim delegasi negosiasi ke Washington, meski hasilnya belum signifikan.
Dalam upaya meredam tekanan, Indonesia mulai mengalihkan sebagian impor bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura ke AS. Sebelumnya, 54% dari kebutuhan BBM nasional dipenuhi melalui impor dari Singapura.
Pengamat ekonomi internasional dari Universitas Indonesia, Dr. Andi Permana, menilai langkah ini sebagai strategi meredakan ketegangan dan menyeimbangkan hubungan dagang.
“Indonesia masih belum berada pada posisi tawar sekuat Tiongkok, sehingga pendekatannya harus lebih diplomatis dan penuh kalkulasi,” jelasnya.
Namun demikian, sejumlah kalangan menilai langkah ini menunjukkan lemahnya daya saing dan ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi tekanan global.(Lan*)