Mahasiswa Aceh Desak Presiden Prabowo Copot Mendagri Tito dan Dirjen Bina Adwil Terkait Sengketa Empat Pulau

majalahsuaraforum.com – Persatuan Mahasiswa Aceh (PMA) menyuarakan desakan keras kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mencopot Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Safrizal. Desakan ini muncul menyusul polemik sengketa kepemilikan empat pulau yang kini ditetapkan sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara melalui Surat Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2025.
Mahasiswa Aceh menilai bahwa keputusan tersebut merupakan bentuk pengabaian terhadap sejarah dan hak milik masyarakat Aceh. Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Koordinator Aksi PMA, Gamal, disebutkan bahwa Tito Karnavian dan Safrizal adalah aktor utama di balik keluarnya keputusan yang dianggap merugikan Aceh.
“Kami menilai Mendagri dan Dirjen Bina Adwil tidak peka terhadap akar historis dan konstitusional wilayah Aceh. Oleh karena itu, kami menuntut Presiden Prabowo untuk segera mencopot keduanya dari jabatannya,” tegas Gamal saat menyampaikan orasinya di depan Kantor Gubernur Aceh.
Mahasiswa juga meminta Presiden untuk mencabut SK Kemendagri Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau tersebut—yang selama ini diklaim sebagai milik rakyat Aceh—sebagai wilayah administratif Sumatera Utara. Mereka menegaskan bahwa sengketa ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan soal identitas dan sejarah Aceh yang tidak bisa diabaikan.
Sengketa kepemilikan empat pulau ini telah berlangsung cukup lama, dengan pemerintah Aceh dan Sumatera Utara saling mengklaim. Namun keputusan final Kemendagri tahun ini dianggap sebagai puncak dari ketidakadilan bagi masyarakat Aceh.
“Negara tidak boleh menghapus sejarah. Empat pulau itu sejak dulu berada dalam wilayah adat dan administratif Aceh. Pemerintah pusat harus membuka ruang dialog yang adil, bukan memaksakan keputusan sepihak,” lanjut Gamal.
Mahasiswa menegaskan bahwa gerakan mereka akan terus berlanjut hingga aspirasi rakyat Aceh diakomodasi. Mereka juga mengancam akan menggelar aksi besar-besaran di Jakarta jika tuntutan tidak segera direspons.
Situasi ini memperlihatkan kembali pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam penataan wilayah, terutama di daerah-daerah yang memiliki latar belakang sejarah dan otonomi khusus seperti Aceh.
Pen. Red.