Prof. Suhandi: “Anggota Komisi III DPR-RI Harus Strata Tiga Bidang Hukum”


majalahsuaraforum.com, Diperkirakan ada sekitar 194 peranturan perundang-undangan buatan pemerintah dan DPR pada tahun ini dimohonkan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan judicial riview atau pengujian yudisial, apakah bertentangan dengan UU Dasar 1945 atau tidak.

Sejauh ini, tercatat sejak Januari hingga akhir Mei 2025 pihak MK telah menerima 95 permohonan. Dari jumlah itu, terbanyak adalah pengujian UU No. 3 Tahun 2025 tentang TNI, berikutnya UU No.1 Tahun 2025 tentang BUMN, selanjutnya terkait UU Pilkada, UU Kepolisian, UU Pemilu, UU Kejaksaan, UU UU MD3 (MPR; DPR;DPD; DPRD), UU Kementerian Negara, UU Pemberantasan Tipikor, UU Hak Cipta, UU Ketenaga Kerjaan, UU Cipta Kerja dan UU PTUN.

Perkiraan jumlah tersebut melebihi perkara yang masuk ke MK pada tahun 2024, yakni 189 permohonan. Hal ini membuktikan, bahwa ada sebagian masyarakat ingin membuktikan perundang-undangan yang telah disetujui DPR tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum fundamental, atau tak selaras dengan UU Dasar 1945.

Kenapa mesti judicial riview? Menurut pakar hukum yang juga dosen, advokat, dan saksi ahli hukum, Prof. DR. Suhandi Cahaya, SH, MA, MBA, hal itu berangkat dari ketidakpuasan masyarakat terhadap pembentukan perundang-undangan (legislasi) yang dilakukan pemerintah dan DPR.

“Untuk menguji apakah UU itu tidak berbenturan dengan UU Dasar 1945, masyarakat mengajukanya ke MK, guna mengoreksi materi peraturan dan ketentuan hukum di dalamnya. Bahkan pernah ada UU yang masih dalam proses legislasi DPR, eh, sudah dimohonkan ke MK agar dilakukan judicial riview,” ungkap Prof. Suhandi terkait keinginan tahu masyarakat terhadap suatu produk ketentuan hukum, baru-baru ini kepada wartawan.

Ditambahkan, hal terpenting pengajuan judicial riview apakah ada pasal di dalam perundang-undangan yang diuji itu tidak sesuai dengan hak konstitusional. Mengingat, yang dirasakan masyarakat pemohon, bahwa proses legislasi kurang aspiratif dan partisipatif.

“Wajar jika muncul penilaian seperti itu. Sebab, proses pembentukan tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, akademisi, pakar dibidangnya, maka hasilnya pun patut diduga tidak sesuai harapan. Sementara masyarakat pemohon berharap proses pembentukan perundang-undangan memenuhi keinginan rakyat, atau mencitrakan aspirasi masyarakat luas, bukan untuk suatu kepentingan tertentu,” ujar dosen pasca sarjana Universitas Jayabaya.

Lebih daripada itu, lanjut Prof. Suhandi Cahaya, yang juga menjadi kekesalan rakyat adalah proses legislasi kerap kali dilakukan secara tertutup, singkat, dan dianggap menyalahi ketentuan. 

“Hal ini yang banyak disesali masyarakat, sehingga melahirkan ketidakpuasan, dan berbuntut diajukan gugatan uji materi ke MK. Rakyat berharap MK mengoreksi pembentukan yang dianggap tidak sesuai ketentuan perundang-undangan,” ungkap saksi ahli hukum yang sudah ratusan kali diminta penjelasanya di pengadilan atau pada saat penyidik Kepolisian maupun pentututan Kejaksaan.

Advokat senior ini menambahkan, MK menjadi pilihan masyarakat lantaran lembaga ini secara konstitusi berwenang menguji peraturan dan perundangan-undangan yang dihasilkan pemerintah dan DPR, sebagaimana termaktub di dalam Pasal 24 C ayat (1) dan (2) UU Dasar 1945.

“Melalui judicial review dapat dipastikan apakah peraturan pernundang-undangan yang dihasilkan pemerintah dan DPR tidak bertentangan atau sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang mendasar. Wajib dan wajar jika masyarakat mengajukan permohonan uji materi, karena kewenanganya lembaga ini, sebagaimana diamanahkan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK,” urai Prof. Suhandi.

Menurut guru besar ini, ada dua jenis judicial review. Pertama, Uji Formil (formal review), yakni meriksa mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, apakah sudah sesuai tata caranya. 

“Ke dua, Uji Materil (material review). Pada pengujian ini, MK meriksa isi atau subtansi peraturan dan perundang-undangan produk pemerintah dan DPR, apakah sesuai dengan ketentuan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum fundamental, tak selaras dengan UU Dasar 1945,” katanya.  

Judicial review, Prof. Suhandi menambahkan, akan menjaga supremasi hukum, sekaligus mengeroksi peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk tidak bertolak belakang dengan prinsip dasar negara.

 

Harus Strata Tiga

Pada bagian lain dia menegaskan, bahwa hukum di Indonesia saat ini amat memprihatinkan, mundur dan kelabu. Jika dibiarkan, masyarakat dunia akan menilai hukum di negara ini hanya sekedar simbol, perundang-undanganya tidak memiliki kekuatan hukum. Dibuat untuk dilanggar. Tak jarang materi perundang-undangan lemah, serta dianggap bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi (konstitusi). 

“Saya berharap, elemen masyarakat, lembaga hukum, pemerintah dan DPR harus memandang serius persoalan hukum yang memprihatinkan. Tidak bisa tidak. Jika hukum lemah, negara akan disingkirkan dalam pergaulan masyarakat internasional. Investor pun jadi segan menanamkan modalnya,” Prof. Suhandi mengingatkan.

Kenapa materi perundang-undangan yang dibuat pemerintah dan DPR dinilai lemah serta menyimpang dari prinsip-prinsip dasar negara, menurut ahli hukum ini, lantaran ketika proses pembentukan tidak banyak melibatkan pakar hukum, akademisi dan elemen masyarakat. 

“Karena dibuat secara tidak transparan, prosesnya dalam waktu singkat, pendidikan dan pengalaman individu yang dilibatkan belum saatnya merumuskan ketentuan hukum, maka hasilnya pun dipastikan tidak aspiratif. Masyarakat jadi tidak puas. Ukuranya adalah pastisipasi publik, siapa saja yang dilibatkan,” paparnya.

Begitu juga ketika proses leglisasi di DPR, lanjut Prof. Suhandi, anggota dewan yang duduk di Komisi III, yang membidangi hukum, harus berpendidikan di bidang hukum, minimal strata 3, praktisi atau pakar hukum berpengalaman.

“Jika tidak, ya. hasilnya seperti sekarang ini, ratusan ketentuan dan perundang-udangan produk pemerintah dan DPR di judicial riview masyarakat di MK, karena dinilai tidak memenuhi harapan rasa keadilan. Anggota Komisi III DPR itu minimal harus strata 3 di bidang hukum, dan berpengalaman. Tidak bisa tidak,” pungkas Prof. Suhandi. 

 

Pen. Hil. 

Berita Terkait

Top