Pemanfaatan Lahan Lapas untuk Perumahan Rakyat: Ambisi Prabowo, Risiko, dan Realitas


majalahsuaraforum.com – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berupaya mewujudkan program ambisius tiga juta rumah per tahun bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Salah satu langkah paling kontroversial saat ini adalah wacana pemanfaatan lahan lembaga pemasyarakatan (lapas) di perkotaan sebagai lokasi pembangunan perumahan rakyat.

Program yang tertuang dalam visi misi Asta Cita ini menargetkan pembangunan dua juta rumah di pedesaan dan satu juta di kawasan urban setiap tahunnya. Namun di tengah terbatasnya lahan, terutama di kota-kota besar, pemerintah mencoba segala alternatif—termasuk lahan lapas.

Cipinang dan Salemba Jadi Proyek Perdana

Wacana ini mencuat setelah Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, bersama Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto, melakukan kunjungan langsung ke Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta (7/5/2025). Sepekan kemudian, pertemuan lanjutan digelar untuk membahas dasar hukum dan data pendukung realisasi program tersebut.

Menurut Maruarar—yang akrab disapa Ara—lahan lapas yang strategis di tengah kota lebih baik dimanfaatkan untuk masyarakat, sementara fungsi pemasyarakatan dapat dipindahkan ke daerah luar kota.

“Saat ini banyak lapas di lokasi strategis. Padahal banyak warga perkotaan yang membutuhkan rumah layak,” kata Ara dalam pernyataan resmi.

Menteri Imipas, Agus Andrianto, menyambut baik gagasan ini dan mengakui bahwa overcrowding menjadi masalah besar di lapas perkotaan. “Kita perlu lapas baru yang lebih layak di tempat lain,” katanya.

Tantangan Hukum dan Risiko Sosial

Meski didukung sejumlah pihak, wacana ini tak lepas dari kritik. Ekonom CORE, Yusuf Rendy Manilet, menilai ide tersebut “berani tapi kompleks” karena menyangkut hak asasi manusia, logistik, dan kesiapan infrastruktur pengganti.

“Pemindahan narapidana bukan hanya soal tempat, tapi juga menyentuh aspek HAM dan anggaran,” tegasnya.

Yusuf juga mengingatkan bahwa UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman belum secara eksplisit mengatur konversi lahan instansi lain seperti Kemenkumham untuk proyek perumahan. Artinya, jika ingin direalisasikan, dibutuhkan koordinasi lintas sektor dan penyesuaian regulasi.

Dari sisi pertanahan, pengamat properti Aleviery Akbar mengingatkan bahwa lahan lapas sebagai Barang Milik Negara (BMN) memiliki keterbatasan legalitas untuk dialihfungsikan. Jika pun bisa, bentuk hak atas tanah kemungkinan hanya sebatas Hak Pakai, bukan Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Milik.

“Jika tanah masih berstatus milik negara, perubahan fungsinya harus melalui prosedur ketat, termasuk penyesuaian Rencana Tata Ruang,” ujar Aleviery.

Dukungan Swasta dan Regulasi yang Masih Abu-abu

Pemerintah juga mulai menggandeng sejumlah pengembang besar seperti PT Ciputra Development, Sinarmas Land, Summarecon, hingga Pakuwon Group. Meski belum ada kejelasan soal skema pembiayaan, Ara menyebut pola kerja sama tengah dirancang agar negara tidak dirugikan.

Namun, Ketua Umum Apersi, Junaidi Abdillah, mengingatkan belum adanya payung hukum jelas untuk program 3 juta rumah ini.

“Regulasi antar-kementerian dan dengan pemda harus segera dibentuk agar arah kerjanya jelas,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, yang mewanti-wanti agar realisasi proyek ini tidak melabrak aturan. Ia mengingatkan agar seluruh bukti kepemilikan lahan, legalitas, dan penggunaan anggaran negara diperhatikan dengan cermat.

“Jangan sampai karena ingin cepat, lalu mengabaikan aturan. Itu akan menimbulkan masalah di kemudian hari,” kata politisi PDI Perjuangan itu.

Antara Ambisi dan Kehati-hatian

Upaya pemerintah menanggulangi backlog perumahan—yang menurut BPS mencapai 12,7 juta unit per 2023—memang mendesak. Tapi memanfaatkan lahan lapas sebagai solusi bukan tanpa risiko.

Jika tidak dirancang dengan matang dan partisipatif, kebijakan ini dikhawatirkan justru menciptakan konflik sosial dan hukum. Sejumlah pihak menilai program sebaiknya difokuskan dulu pada lahan idle lain, seperti aset sitaan koruptor, tanah kasus BLBI, atau milik konglomerat yang berkomitmen membangun rumah gratis.

Bagaimanapun, seperti kata ekonom Yusuf Rendy, “Jangan sampai satu kebijakan untuk memenuhi hak satu kelompok, justru memarjinalkan kelompok lainnya.”(hil**)

Berita Terkait

Top